Senin, 16 Januari 2012

Ketika Cinta Tak Bisa Memiliki


Terduduk di tepi danau, ia menatap langit biru. Mentari mulai menampakkan dirinya. Embun pagi masih tampak membasahi dedaunan. Ia sudah berada pada posisi itu sejak tiga jam yang lalu, namun rasa sakit itu belum juga sirna.
Rasa putus asa telah memenuhi hatinya. Gadis yang baru saja ia sadari bahwa ia sangat mencintainya, telah mencampakkan dirinya. Kini tak ada lagi alasan untuk hidup baginya. Ia pun telah memutuskan. Maka ia beranjak dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya menuju danau. Baru saja kakinya menyentuh air di pinggir danau, tubuhnya ditarik ke belakang oleh seseorang hingga terpuruk, terduduk beralaskan tanah berumput.
“Dasar bodoh! Kamu mau mati, hah?!”
Zerdy hanya terdiam dibentak seperti itu dengan pandangan lurus ke depan, namun tak terfokus ke mana pun. “Gadis ini lagi, gadis ini lagi. Kurang kerjaan sekali hingga mencegatku seperti ini.” ujar Zerdy dalam hati.
“Udah, deh! Gak usah mikirin cewek itu lagi! Hidupmu masih panjang, Zer! Jangan kamu sia-siain hidupmu cuma gara-gara Aria! Move on, boy!” bentak Aurel. Seketika Zerdy menatap Aurel tajam, sementara tangannya terkepal hingga bergetar menahan amarah. “Apa urusannya denganmu?” tanya Zerdy datar, seraya bangun perlahan dan beranjak pergi menuju motornya, lalu menstarternya dan dikendarainya menjauhi danau, meninggalkan Aurel yang terdiam menatapi kepergian Zerdy.
Zerdy mengendarai motornya menuju rumah. Setiba di rumah, ia berganti baju dengan seragam sekolah, menyambar ranselnya, dan berangkat sekolah tanpa mandi atau pun sarapan terlebih dahulu. Dikendarainya motor dengan kecepatan relatif laju. Ketika gerbang sekolah tampak di pandangannya, ia mulai menurunkan kecepatannya dan berhenti di tempat parkir sekolah, di samping kelasnya. Tempat parkir itu masih sepi, hanya ada beberapa motor terparkir di dalamnya. Dapat dipastikan sekolah pun masih jarang ada orang.
Ia duduk di kursi di lorong depan kelasnya, menanti sahabat-sahabatnya karena kelasnya pun hanya berisi teman sekelasnya yang pendiam serta penyendiri namun kecerdasannya tak usah dipertanyakan, peringkat tiga besar sudah pasti didapatkannya. Tidak lain adalah Zita yang dimaksud. Zita sedang membaca novel yang lumayan tebal, sesuai dengan kesan yang diberikan gadis berkacamata ini.
Tak lama kemudian datang salah satu sahabatnya, Rian. Belum sempat Rian menginjakkan kaki di kelasnya, Zerdy sudah mencekal lengannya. “Kasih tau Aria, aku tunggu dia di depan perpustakaan.” ujar Zerdy sambil melangkah pergi. “Kamu mau kemana?” tanya Rian. “Kantin.” jawab Zerdy sambil tetap membelakangi Rian, berjalan pergi. Melihat sahabatnya itu, Rian hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Ketika Aria memasuki kelasnya yang kebetulan sama dengan kelas Zerdy, “Aria, ditunggu Zerdy di depan perpustakaan.” Seketika wajah Aria pucat. Ia meletakkan tasnya di kursinya, dan berjalan perlahan. Rian hanya mengangkat bahunya melihat sikap kedua sahabatnya itu, lalu melanjutkan kegiatannya menyalin pekerjaan rumahnya Zita.
Di depan perpustakaan, Zerdy menyenderkan badannya di dinding sambil melipat tangannya di dada. Pandangannya lurus terarah pada rumpun mawardi hadapannya. Ketika Aria tampak di sudut matanya, ia merubah posisinya. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. “Beri aku kesempatan sekali lagi.” ujarnya ketika Aria telah berdiri sedikit menyerong darinya. Tak memberikan jawaban apapun, Aria hanya berdiri tegak laksana anggota paskibra yang tengah berbaris, namun kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya. “Jawab aku, Aria!” tegas Zerdy. Namun Aria tetap menundukkan kepalanya. Tak sabar lagi, Zerdy mengulurkan tangan kanannya mengangkat dagu Aria pelan. Otomatis kepala Aria pun terangkat. Namun pandangan Aria tidak menatap Zerdy. Ia berusaha sebisa mungkin tidak bertatap mata dengan Zerdy. Segalanya ia lihat, kecuali Zerdy. Mulai dari rumpun mawar di depan perpustakaan, jendela perpustakaan, burung kecil yang hinggap di lantai tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang, kupu-kupu yang terbang di atas kepala Zerdy. Zerdy meraih kedua tangan Aria, membuat Aria refleks menatap tangannya, kemudian menatap Zerdy terbelalak. Sementara Zerdy balas menatapnya lembut, memohon belas kasihan. Segera Aria melepaskan tangannya dari genggaman tangan Zerdy, lalu ia berkata, “Semua sudah berakhir, Zer.”
Ia tahu bahwa jawaban seperti itulah yang akan ia dapatkan. Namun Zerdy masih tetap terkejut mendengarnya dari yang empunya mulut. Sekonyong-konyong badannya lemas hingga ia membutuhkan tempat bersandarnya lagi.
“Kenapa?” tanya Zerdy pelan.
“Aku akan pergi.” jawab Aria.
“Kemana?” tanya Zerdy lagi.
“Suatu tempat yang jauh.” jawab Aria singkat.
“Kita bisa berhubungan jarak jauh.” ujar Zerdy pelan, hampir tak terdengar.
“Percuma. Keputusan aku udah bulat. Hari ini orangtuaku mau mengurus kepindahanku.” ucap Aria. Hening seketika. Keduanya bergelut dengan pikiran masing-masing.
“Baiklah kalau begitu.” ujar Zerdy datar. Ia beranjak pergi, melangkah menjauhi Aria yang masih tegak berdiri dalam kebisuan. Ketika Zerdy sudah tak tampak olehnya, Aria berlari ke toilet. Di sana ia menangis, melepas sesak yang membelenggunya sejak ia tiba di sekolah.
Berjalan tanpa pandangan fokus kemanapun, Zerdy seperti mayat hidup. Pada saat ini, ungkapan “hidup segan, mati tak mau” mungkin cocok untuknya. Pelajaran pertama dimulai sepuluh menit lagi. Maka ia melangkah menuju kelas.
Pelajaran pertama sudah hampir memasuki jam pelajaran kedua, namun Aria masih belum menampakkan dirinya lagi. Zerdy resah sendiri. Ia memandangi kursi Aria dalam cemas. Tiba-tiba ibu Aria muncul di depan pintu. Setelah bercakap tak berapa lama dengan sang guru yang tengah mengajar, sang guru tersebut segera mengambil tas Aria. Murid-murid di kelas bertanya-tanya ada apa gerangan yang tengah terjadi. Tak terkecuali Zerdy. Terlebih ketika ia melihat ibu Aria menatapnya sedih sebelum beranjak pergi meninggalkan kelas setelah menerima tas Aria dan mengucapkan terima kasih kepada sang guru. Pelajaran pun dilanjutkan kembali tanpa mengungkit-ungkit kembali sedikitpun tentang apa yang telah terjadi. Tentulah murid-murid sudah tidak fokus lagi pada pelajaran hari itu.
Siang hari ketika jam pelajaran sebelum istirahat siang, terdengar sebuah pengumuman yang mengejutkan, terutama untuk Zerdy. Pengumuman tersebut adalah bahwa Aria telah meninggal pagi itu. Seisi kelas masih tercengang mendengarnya termasuk guru yang mengajar, namun tidak dengan Zerdy. Ia langsung melesat keluar tanpa izin dari guru. Tujuannya satu, mencari guru yang tadi mengajar saat jam pelajaran pertama. Ia menemukan guru tersebut di ruang guru, tengah berbincang dengan guru yang lain. Segera ia menghampiri guru tersebut dan bertanya, “Dimana?”
Sang guru yang masih bingung dengan kehadiran anak muridnya ini pada jam pelajaran seperti ini masih pula dibuat bingung dengan pertanyaan Zerdy.”Apa maksudmu? Kelas berapa kamu?” tanya guru itu.
“Dimana Aria meninggal?” tanya Zerdy tanpa mengacuhkan pertanyaan guru itu yang satu lagi. Masih dalam kebingungan, guru itu menyebutkan sebuah nama rumah sakit. “Siapa nama kamu? Kelas berapa kamu?!” tanya guru itu. Namun kecil kemungkinan Zerdy mendengarkan pertanyaan terakhir itu karena Zerdy telah melesat pergi meninggalkan ruang guru setelah mengetahui tempat Aria meninggal. Ia berlari menuju motornya, mengendarainya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, ia menuju administrasi. “Apakah pagi ini ada pasien bernama Aria Fitri Vidia?” tanyanya.suster bagian administrasi itu menjawab, “Ada. Tapi sayang sekali, baru saja meninggal. Sekarang jasadnya sudah dibawa pulang.” Tanpa menunggu lagi, Zerdy segera melesatkan motornya menuju rumah Aria.
Di rumah Aria, sanak saudara telah berkumpul. Dari luar terlihat ibu Aria menangis tersedu-sedu meratapi jasad tak bernapas Aria. Di sebelahnya, duduk ayah Aria tengah merangkulnya dengan mata terpejam, menguatkan hatinya. Zerdy berjalan perlahan memasuki kediaman yang berduka tersebut. Melihat jasad tak bergerak Aria, seakan “ketidakbergerakan” Aria menular kepada Zedy. Ia terdiam berdiri di depan pintu. Ibu Aria menoleh begitu merasa ada yang datang. Ketika pandangan mereka bertemu, ibu Aria segera menghapus air mata di pipinya dan berjalan memasuki kamar Aria. Ketika keluar, beliau membawa sebuah buku kecil. Beliau melangkah ke arah Zerdy dan memberikan buku tersebut kepadanya. “Bukalah. Kau boleh membacanya. Di dalamnya tertulis segala curahan hati Aria. Baik yang diketahui orang lain maupun yangia rahasiakan untuk dirinya sendiri. Tentunya sebelum... sebelum ia... ia...” beliau kembali menangis setelah berkata begitu kepada Zerdy. Zerdy menerima wadah curahan hati Aria tersebut dengan tangan sedingin mayat. Ia duduk di kursi di teras dan mulai membaca. Halaman pertama tentang pertama kali Aria mendapatkan buku tersebut yang merupakan hariah ulang tahun kiriman dari sahabatnya di Perancis. “Pantas saja sampul buku ini bagus dan berbahasa Perancis.” ujarnya dalam hati. Halaman kedua dan halaman-halaman berikutnya mengenai kesehariannya. Baik di sekolah maupun di rumah, baik hari biasa maupun hari libur. Hingga pada suatu halaman, nama Zerdy mulai disebut-sebut. Betapa dulu bencinya Aria padanya karena ia begitu nakal, betapa risihnya Aria dulu saat bertemu, bahkan melihat sosok Zerdy. Namun semua itu mulai berubah ketika Zerdy menangkapnya ketika ia jatuh pingsan di lapangan sekolah saat jam pelajaran olahraga tengah berlangsung dan dibopongnya menuju ruang uks. Ia tidak lagi menganggap Zerdy seorang “sampah”. Terlebih ketika Zerdy mulai memperhatikan dirinya. Pada halaman berikutnya, Aria mengatakan bahwa ia mulai ada perasaan khusus terhadap Zerdy. Tak berapa jauh kemudian, Aria mulai menulis bahwa ia mengidap leukimia. Seketika Zerdy membeku membacanya. Ia tak menyangka seorang Aria yang di matanya selalu ceria, ternyata mengidap penyakit separah leukimia. Pada hari dimana Aria divonis mengidap leukimia, di hari itu pula ia menerima pernyataan cinta Zerdy. Tentunya sebelum ia mengetahuinya. Dan hari itu tepat enam bulan yang lalu.
Semakin hari keadaan Aria semakin buruk. Ia mulai sering tidak masuk sekolah. Tentang hal ini, Zerdy menyadarinya dengan sangat jelas. Namun setiap ia bertanya mengenai kesehatan Aria, Aria selalu mengatakan bahwa ia hanya kecapaian. Memang sejak hari itu, Aria mulai mengikuti berbagai ekskul di sekolahnya. Paduan suara, PMR, pramuka, paskibra, English Club. Ia juga mulai ikut kursus piano, kursus bahasa Jepang, kursus vokal. Maka tak heranlah Zerdy.
Halaman terakhir dari curahan hati Aria, ditulisnya tadi malam. Ia menuliskan, bahwa keadaannya sudah semakin parah. Itulah sebabnya ia memutuskan hubungan cintanya dengan Zerdy, meskipun  ia sangat mencintainya. Namun, tertulis di sana, bahwa Aria tak ingin Zerdy menderita karena dirinya. Cukup sudah ia menyusahkan orang tuanya dengan penyakit yang dideritanya. Pada halaman ini, banyak sekali goresan tinta Aria yang luntur, tertetes butir air mata. Tentulah Aria menangis ketika menuliskannya.
Zerdy melepas buku tersebut dari tangannya tanpa ia sadari hingga jatuh ke lantai. Terbukalah halaman paling belakang. Di sana tertulis, “Sesak ini memang tidak hanya aku yang merasakannya. Namun hidupnya masih panjang. Dan masih ada perempuan lain yang mencintainya dengan sepenuh hati. Tak sepertiku yang hidupnya tinggal menghitung hari. Zerdy masih memiliki Aurel.” Tak bisa lagi ditahan, menetes sudah air mata Zerdy. Tetesannya membasahi halaman terakhir tersebut.
Ibu Aria berdiri di samping Zerdy. “Buku itu milikmu. Aria telah memberikannya padamu.” Zerdy menoleh padanya. “Aria bercerita pada tante sebelum ia pergi. Setelah ia bertemu denganmu, ia berlari menuju toilet. Di sana ia menangis. Mungkin karena terlalu tertekan, keadaannya tiba-tiba buruk. Ia pingsan di toilet. Kata pihak sekolah yang mengabari tante, Aria ditemukan pingsan oleh seorang siswi. Segera saja tante beserta om membawanya ke rumah sakit. Itu sebabnya tadi tante ke kelas kamu mengambil tas Aria.”
Zerdy tak bisa lagi berbuat banyak. Ia terpaku mendengar penjelasan ibu Aria. Tak bisa berbuat banyak, ia pamit pulang. Ia mengendarai motornya tak niat. Kecepatan relatif lambat, berjalan di tengah, helm tak dikancing. Ia kembali ke sekolah, berjalan menuju kelasnya. Ternyata sudah istirahat makan siang. Zerdy tak berniat makan siang. Nafsu makannya tak ada sama sekali. Ia duduk di kursinya dan terbengong menatap papan tulis.
Tanpa disadari Zerdy, Aurel sudah duduk disebelahnya. Tapi disadari atau tidak, reaksi Zerdy tetap saja sama, bengong menatap papan tulis. Aurel hanya bisa menunduk. Telapak tangan kirinya menggenggam telapak tangan kanannya. Keduanya terdiam membisu. Tak tahan dengan kesunyian, Aurel menoleh pada Zerdy dan berkata, “ Tak bisakah kau melupakan Aria dan mulai melihatku?” Namun Zerdy tak bergeming sedikitpun. Aurel menghela napas perlahan, lalu kembalu berucap, “Kamu boleh jawab kapan saja. Aku akan menunggumu.” Setelah itu ia pergi meninggalkan Zerdy. Tiba-tiba Zerdy berkata, “Hatiku sudah tertutup hanya untuk Aria. Aku bisa saja melihatmu, tapi harapanmu bahwa aku akan mengizinkanmu memasuki hatiku terpaksa kuhancurkan. Maaf.” tanpa menngubah posisinya sedikit pun. Aurel terdiam. Lalu ia melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang.
Bel masuk kelas berbunyi. Teman-teman sekelasnya sedikit demi sedikit masuk ke kelas sambil masing-masing bercakap-cakap dengan temannya. Ketika mata mereka menemukan sosok Zerdy, seketika mereka terdiam, lalu duduk di tempatnya masing-masing. Tak berani membicarakan Aria, mereka memilih diam.
Hingga sekolah usai, Zerdy bertahan di kursinya. Ia tak berjalan pulang seperti teman-temannya yang lain. Ia memilih merenungkan semua kejadian yang menimpanya hari ini. Menjelang matahari terbenam, barulah ia menuju motornya. Lalu ia mengendarainya pulang.
Esoknya, Zerdy ditemukan tewas di rumahnya, lebih tepatnya di kamarnya. Dikatakan bahwa ia menelan cat akrilik. Di samping jasadnya, tergeletak secarik kertas dengan tulisan tang Zerdy. Bisa dikatakan bahwa kertas tersebut merupakan pesan terakhirnya sebelum ia meninggal. Pada pergelangan tangan kirinya, terdapat banyak luka sayatan. Diduga ia menyayat pergelangan tangannya dengan cutter yang ditemukan di atas meja belajarnya dengan beberapa tetes darah ditemukan di sana.
“Cintaku telah pergi. Tak ada lagi alasan untukku hidup. Hatiku tak bisa terisi oleh orang lain selain Aria. Maafkan aku, Aurel. Aku baru menyadari perasaanmu padaku. Tapi semua sudah terlambat. Aku tau, dengan kematianku ini aku tetap tak akan bisa menemui Aria lagi. Namun ini lebih baik dari pada aku harus hidup tanpa alasan hidup, tanpa cinta.
–Zerdy yang selalu mencintai Aria dan tak bisa hidup tanpan

Ketika


Ketika bangun di pagi hari
Semangat yang memuncak
Segera bergegas
Karena akan bertemu dengannya
Ketika tiba di sana
Kau tengah bercakap dengan mereka
Mengetahui kau ada di sana
Sudah membuatku bahagia
Membuatku tersenyum sepanjang waktu
Ketika kau bergegas pergi
Entah menuju ke mana dirimu
Rasa kecewa seketika muncul di hati ini
Senyum yang muncul
Kini senyum mengikhlaskan
Ketika diharuskan berpindah
Aku berjalan lunglai
Tak semangat seperti biasanya
Tak ceria seperti biasanya
Ketika bertemu denganmu lagi
Mataku tak lelah menatapmu
Memperhatikan setiap tingkahmu
Mendengar setiap lisanmu
Namun kau berucap pada mereka
Bukan padaku
Sekali lagi, kecewa itu menghampiri hatiku
Ditambah sedikit sesak
Ketika kau menatapku
Sudah membuat bibir ini tersenyum
Ketika kau mengucapkan sepatah kata padaku
Cukup membuatku kembali ceria
Ketika kau mengajakku
Cukup membuatku kembali bersemangat
Namun kau mengucapkan hal seperti itu
Seketika aku kembali terdiam
Senyum pun terpaksa
Tak bersemangat melakukan apa pun
Ketika kau berjalan pulang
Aku hanya dapat menatap punggungmu
Sambil menahan tangis
Aku bertahan diam
Menahan luapan jiwa
Ketika sudah tak bisa menahannya
Maka ku berteriak
Tanpa maksud yang jelas
Tanpa alasan yang jelas
Lalu tertawa tanpa alasan
Tak heran sekitarku menatapku bingung

Rindu yang Tak Pernah Surut


Kegundahan melandaku
Tanpa sadar
Ku lukai diriku sendiri
Tanpa sadar
Ku sia-siakan waktuku
Kehadiranmu tak kurasakan
Aku menanti kedatanganmu
Dalam diam
Gundah gulana
Lalu aku melihatnya
Sebuah jaket
Tergeletak di atas dinginnya lantai
Sebuah map bening terisi penuh
Tergeletak disampingnya
Lalu kau muncul
Berjalan di belakangku
Mengambil mapmu
Lalu kau menuju ke arah yang lain
Aku duduk di sini
Menahan sesal
Menahan sedih
Menahan amarah
Namun semua berubah
Saat kau mengucapkannya
Dua kata yang mampu menyihirku
Yang mampu merubahku dalam sekejap
“Sampai jumpa”

Langit Sakura


Kau langit ku bumi
Tak pernah bisa bersatu
Namun kagumku tetap padamu
Yang kau tak ketahui
Ketika angin musim semi bertiup
Ia membisikkan padamu
Cintaku yang tak sempurna
Cintaku yang tetap kupendam
Kau tetap menari
Ditemani sakura dan momoji
Dengan senyum kusaksikan kau bergerak
Lincah dan bersemangat
Namun tuhan berkata lain
Kau melangkah menuju angkasa luas
Dimana Sirius Phoenix Spica dapat kau lihat
Dan aku bertahan di sini
Hanya bisa melihat kepergianmu
Dengan guguran helai bunga sakura
Yang beterbangan
Memenuhi langit biru